Selasa, 27 September 2011

Pendidikan dan pembangun bangsa

Sekolah mestinya mencerdaskan dan mencerahkan anak didik. Dulu kita sangat menyakini hal itu. Tetapi beberapa kejadian akhir-akhir ini seperti merontokkan keyakinan itu. Sebut saja kejadian bentrokan antar mahasiswa Unila yang terjadi pada beberapa hari yang lalu bertepatan dengan acara wisuda. Kejadian tersebut menyebabkan beberapa mahasiswa mengalami luka serius serta sejumlah fasilitas kampus rusak. Padahal belum lepas dari ingatan kita tentang kejadian serupa terjadi di daerah lain, sebut saja kejadian pemukulan wartawan oleh pelajar SMAN 6 Jakarta serta tragedi kekerasan di IPDN yang merenggut nyawa para siswanya. kejadian itu menegaskan satu hal, rupanya beberapa orang yang berkecimpung dalam dunia terdidik tak lagi bisa berfikir secara logis dan ilmiah, tapi lebih mendahulukan amarah untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial. Jika sistim pendidikan kita diibaratkan dengan tubuh, maka dia merupakan tubuh yang tidak pernah sembuh dari penyakit. Disamping penyakit ganas yang bernama neoliberalisme, dunia pendidikan nasional juga masih bergelut dengan persoalan-persoalan lama: kekerasan, nilai-nilai kolonial, dan hilangnya orientasi pendidikan Jika menilik pembukaan UUD ‘45 disebutkan bahwa salah satu tujuan kita bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian, dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional disebutkan pula, bahwa “pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa….” Mengingat kembali pada jaman Bung Karno, pendidikan sebetulnya menjadi alat penting dalam proyek “nation and character building”. Soekarno pun merumuskan fungsi pendidikan nasional sebagai alat revolusi untuk mencapai lima hal: Manusia Indonesia Baru yang berjiwa Pancasila dan sanggup berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut, manpower yang cukup untuk melaksanakan pembangunan kepribadian Kebudayaan Nasional yang luhur, ilmu dan teknologi yang tinggi, dan penggerakan kekuatan rakyat dalam pembangunan dan Revolusi. Sudah sejak jaman pergerakan, pendidikan dan sekolah menjadi alat perjuangan. Disanalah kaum pergerakan menyemai semangat nasionalisme dan anti-penjajahan, membangkitkan kepercayaan diri rakyat terperintah, dan melahirkan kader-kader handal untuk perjuangan. Tetapi, jika kita melihat sistem pendidikan nasional sekarang, semangat itu sudah tidak ada sama sekali. Karena pemerintah kita telah menyerahkan pendidikan kepada pasar dan pemerintah hanya perannya minimal. Akibatnya, pemerintah bukan saja kehilangan kontrol tentang bagaimana pendidikan bisa diakses seluruh rakyat, lebih dari itu pemerintah tidak bisa lagi memastikan pendidikan itu punya muatan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme. Sehingga para peserta didik tidak lagi dididik untuk mengabdi kepada masyarakat dan bangsanya, tetapi sekarang dipaksa mengabdi untuk tujuan-tujuan pribadinya. Tidak mengherankan pula, bahwa para pelajar lebih percaya pada “American dream”, dibanding kepada nilai-nilai luhur dan kepribadian bangsa kita. Pendidikan nasional kita dibanjiri oleh teori-teori impor dari barat. Karena diserahkan kepada mekanisme pasar, maka logika penyelenggaraan pendidikan kita juga bertumpu kepada profit, maka kapitalisme pun menempatkan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai keuntungan termasuk menempatkan peserta didik sebagai alat untuk tujuan tersebut. Disamping itu, pendidikan kita tanpa disadari penanaman nilai-nilai liberalisme, kompetisi bebas, dan indivualisme. Sementara nilai-nilai solidaritas dan gotong royong, yang dulu menjadi kepribadian bangsa kita, mulai disingkirkan dan dicap “kampungan”. Lebih miris lagi, atas nama dunia yang ter-globalisasi, bahasa Indonesia secara perlahan-lahan mulai terusir dari sekolah-sekolah kita. Menguasai banyak bahasa asing memang bagus, tetapi jika tak mengusai bahasa bangsa sendiri, bahasa tempat kaki kita berpijakmaka itu sama saja membiarkan bangsa kita kehilangan jati diri. Pendidikan di jaman neoliberal seperti sekarang ini bisa saja menghasilkan banyak sarjana, doktor, dan professor. Tetapi jika tidak dibekali mental yang teguh untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, bukan tak munkin di masa depan hanya sedikit yang mempunyai dedikasi terhadap kemanusiaan dan bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan mental sebagai salah satu aspek dalam pendidikan tidak bisa ditinggalkan. Orang bisa saja mengusai teknologi canggih, tetapi jika ilmunya tidak diabdikan kepada rakyat dan bangsa, maka itu sama saja dengan kesia-siaan.

1 komentar:

  1. ya, sistem pendidikan Indonesia terlampau dibuat rumit sehingga tidak memberikan keleluasaan anak anak Indonesia tuk berkarya dan tentunya sesuai fakta bahwa Indonesia tidak mampu memfalitasi anak-anak indonesia tuk belajar,lebih memilih membeli pesawat ratusan miliaran dibanding memfalisitasi sekolah,tempat menggali ilmu...miris memang sygya, sistem pendidikan Indonesia terlampau dibuat rumit sehingga tidak memberikan keleluasaan anak anak Indonesia tuk berkarya dan tentunya sesuai fakta bahwa Indonesia tidak mampu memfalitasi anak-anak indonesia tuk belajar,lebih memilih membeli pesawat ratusan miliaran dibanding memfalisitasi sekolah,tempat menggali ilmu...miris memang syg

    BalasHapus