Selasa, 27 September 2011

MENDISKUSIKAN GERAKAN ANTI NEOLIBERAL

ditulis oleh Rudi Hartono Dalam beberapa bulan terakhir, atmosfer perdebatan politik diantara para petarung pilpres kian memanas. Dan diantara kolong langit perdebatan politik itu, isu anti neoliberalisme juga mendapatkan tempat yang tidak kalah sengitnya. Sampai-sampai, karena kecenderungan orang melihat neolib sebagai hal yang buruk, tidak ada satu capres pun yang mau dikatakan neolib atau mendukung neoliberalisme.

Pendidikan dan pembangun bangsa

Minggu, 18 September 2011

Soekarno dan Pakaian “Uniform”

ditulis oleh Rudi Hartono 


Soekarno, sejak memulai aktivitas pergerakan hingga menjadi presiden, sangat memperhatikan penampilan, terutama soal berpakaian. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dikalangan pergerakan saat itu, Soekarno merupakan salah satu yang mempunyai ciri khas dalam berpakaian, dan kelak diikuti oleh kalangan pergerakan lainnya.

Saat memasuki sekolah teknik di Bandung, Soekarno mulai menggunakan kemeja putih, pantalon, dan berdasi. Generasi pergerakan saat itu seperti Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Sartono, Ali Sastroamidjoyo, Syahrir, dan Amir Syarifuddin, merupakan generasi awal yang sudah mengenakan pakaian jas, celana panjang, sepatu, dan dasi. Rudolf Mrázek, seorang professor sejarah di University of Michigan, menyebut gaya berpakaian seperti ini sebagai “Indonesian dandy” (kenecisan).

Pada tahun 1928, pada sebuah kongres PNI, Soekarno menganjurkan kepada partainya untuk mengenakan pakaian “seragam” (uniform). Tak pelak lagi, usul tersebut segera menjadi polemik diantara peserta kongres, diantaranya Ali Sastroamidjojo, yang kelak menjadi dubes dan Perdana Menteri di tahun 1950-an.

Ali Sastroamidjoyo berpendapat, kita seharusnya tidak berpakaian seragam seperti orang eropa karena bertentangan dengan kepribadian nasional, melainkan menggunakan seragam tanpa sepatu dan sandal, sehingga tampak revolusioner di mata rakyat. Tak ayal, suasana kongres menjadi riuh karena perdebatan Soekarno dengan Ali Sastroamidjojo.

Kepada Ali Sastroamidjojo, Soekarno berkata tajam,"Aku tidak setuju…banyak orang yang kaki ayam, akan tetapi mereka bukan orang yang revolusioner. Banyak orang yang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja dengan sepenuh hati untuk kolonialis. Yang menandakan seseorang itu revolusioner adalah bakti yang telah ditunaikannya dalam perjuangan.”

Apa mau dikata, usulan Soekarno kalah saat itu. Meski begitu, Soekarno dan sebagian besar tokoh pergerakan tetap menggunakan celana panjang, jas, kemeja putih, sepatu, dan dasi. Karena penggunaan dasi itu, Soekarno pun pernah bersitegang dengan seorang penghulu (kadi), yaitu saat menikahi Oetari, putri HOS Tjokroaminoto. Si penghulu menolak menikahkan Soekarno karena menganggap dasi itu sebagai pakaian Kristen. Soekarno tetap ngotot. “Dalam hal ini biar Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi” demikian kata Soekarno.

Sebelumnya, Soekarno juga menganjurkan kepada partainya untuk memakai kopiah sebagai identitas pergerakan nasional. Saya tidak bisa menyimpulkan, siapa yang memberi inspirasi kepada Soekarno soal penggunaan kopiah ini. Ada yang mengatakan, Soekarno mengikuti penggunaan kopiah dari pemimpin Sarekat Islam (SI), HOS Tjokroaminoto, orang yang dianggap guru dan tokoh idolanya. Namun, ada juga yang mengungkapkan, penggunaan kopiah oleh Soekarno terinspirasi oleh tradisi gerakan nasionalis Turki, Kemal Attaturk.

Dalam suasana pergerakan saat itu, kopiah memiliki fungsi tambahan selain sebagai penutup kepala, yaitu menjadi alat untuk mengumpulkan sumbangan di tengah-tengah rapat akbar. Begitu kentalnya kopiah atau peci sebagai simbol pergerakan nasional, sehingga pernah penguasa Belanda memerintahkan untuk menangkap semua yang memakai peci atau kopiah.

Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, dimana ia diangkat menjadi Presiden, Bung Karno mulai menggunakan pakaian seragam (uniform). Bung Karno berkata; “…Aku ingin menggunakan pakaian seragam pada setiap penampilan di depan publik karena aku tahu rakyat yang tertindas senang melihat Presidennya yang berpakaian necis. Seorang pemimpin Indonesia harus menjadi seorang tokoh berwibawa tinggi. Dia harus menunjukkan kekuasaan. Bagi ras yang pernah ditaklukkan, inilah kekuasaan.”

Saat itu, Bung Karno menyusun sendiri bentuk seragamnya selaku presiden, sebuah perpaduan antara seragam militer dan pejuang sipil (rakyat). Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sedang tanda kepresidenan (bintang bersudut lima dalam lingkaran) disemakkan di kedua kelepak. Tidak ketinggalan pula, kopiah hitam yang sedikit miring ke kiri.

Sekitar tahun 1950-an, terutama setelah diangkat menjadi panglima tertinggi angkatan perang, seragam Bung Karno makin condong ke corak militer dengan menyemakkan tanda jasa di bagian dada. Disamping itu, dia juga masih memiliki stok gaya berpakaian lain seperti stelan jas putih dan baju safari lengan pendek maupun lengan panjang.

Dengan berpakaian seperti itu, tidak berarti bahwa Soekarno hendak menunjukkan watak kejantanan atau maskulinitas. Tidak! Soekarno berpakaian seperti itu untuk menunjukkan kepercayaan kepada rakyat. Bung Karno berkata, “kalau aku berpakaian militer maka secara mental aku berpakaian dalam selubung kepercayaan. Kepercayaan ini pindah kepada rakyat. Dan mereka memerlukan ini.” Ini, dalam fikiran Bung Karno, merupakan sarana penting untuk mengangkat kepercayaan rakyat dan mengeluarkannya dari perasaan inferior peninggalan kolonialisme.

Demikianlah, seragam dimata Bung Karno tidak hanya menunjukkan identitas nasional, melainkan sebagai alat untuk membangkitkan kepercayaan dan martabat rakyat. Bukankah sebelum membangun suatu bangsa, kita perlu membangun jiwa dan mentalnya lebih dahulu.

Sebagai ahli psikologi massa, Bung Karno sangat mengerti dengan baik, bahwa dalam sebuah negeri, dimana 50% penduduknya buta-huruf, selain menciptakan pengaruh kata-kata dan pidato-pidato, perlu juga untuk menciptakan “penampilan” layaknya pemimpin besar di hadapan rakyat.

Lantas, kalau bercermin pada situasi saat ini, dimana pejabat korup dan penindas rakyat banyak yang mengenakan jas dan kopiah, apakah masih pantas memakai simbol-simbol itu? Pada saat-saat tertentu, dimana masyarakat kita sangat mudah dipengaruhi image atau tampilan luar, kita memang harus mengenakan pakaian-pakaian semacam itu. Bagi saya, tidak soal harus memakai jas dan kopiah atau tidak, tapi intinya ialah harus rapi dan elegan di hadapan rakyat.

















Selasa, 06 September 2011

Pemuda Dalam Sejarah

“Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri”
— Pramoedya Ananta Toer


Suatu malam di pertengahan Agustus 1945. Sekelompok pemuda mendatangi kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bung Karno, yang sudah mengetahui kedatangan utusan pemuda ini, segera menemui mereka di beranda rumah.

“Sekarang, Bung! Sekarang, malam ini juga kita kobarkan revolusi,” ujar Chaerul Saleh, salah seorang dari pemuda tersebut. “Kami tidak ingin mengancammu, bung,” kata Wikana dengan suara serak.

Pemuda asal Sumedang, Jawa Barat, itu melangkah dengan sebilah pisau terjulur di tangannya. “Revolusi di tangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, maka…”

“Maka apa?” teriak Bung Karno yang bangkit dari kursinya. “”Ini batang leherku,” katanya setengah berteriak sambil mendekati Wikana. “Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!” kata Bung Karno dengan setengah berteriak.

Begitulah sekilas cuplikan dialog pemuda saat memaksa Bung Karno, dan juga mereka yang disebut golongan tua saat itu, untuk membacakan proklamasi kemerdekaan. Akhirnya, karena rencana di atas menemui kegagalan, para pemuda kemudian menculik Bung Karno dan membawanya ke Rengasdeklot, Karawang.

Inilah salah satu peranan menonjol pemuda dalam proklamasi kemerdekaan. Banyak peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan juga menceritakan peranan dari kaum muda. Tidak salah kemudian, campur-tangan pemuda yang sangat besar dalam jalannya revolusi di Indonesia oleh Ben Anderson disebut “revolusi pemuda”.

Dua orang penulis dari luar, Robert Cribb dan Anderson, berusaha merekam peranan pemuda di Jakarta pada waktu proklamasi kemerdekaan dan beberapa waktu sesudahnya. “Akhirnya saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh kesadaran pemuda ini,” kata Anderson.

Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan besar Indonesia, mengatakan sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda Indonesia, yang dimulai dengan Perhimpunan Indonesia di Belanda, Sumpah Pemuda, Revolusi Agustus 1945, hingga penggulingan diktator Soeharto. “Hanya sayang mereka tidak melahirkan pemimpin,” kata Pram.

Perhimpunan Indonesia, yang beranggotakan mahasiswa Indonesia di Belanda, merupakan salah satu organisasi pemuda yang banyak menyumbang gagasan mengenai Indonesia merdeka, terutama terkait terselenggaranya Kongres Pemuda dan lahirnya Sumpah Pemuda.

Para pemuda-pemuda itu, sekembalinya mereka ke tanah air, telah menjadi kemudi dari berbagai partai politik pergerakan di tanah air: Partai Nasional Indonesia (PNI)–sebelum dibubarkan, Partindo, PNI-Baru, PKI, dan Partai Syarekat Islam.

Merekalah, yang masih dalam usia dua-puluhan, menulis panjang lebar mengenai gagasan-gagasan Indonesia Merdeka: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Semaun, Tan Malaka, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan itu tidak hanya diuraikan dalam coretan tinta di atas kertas, tetapi diperjuangkan habis-habisan dan menjadi pegangan politik di sepanjang hidupnya.

Para pemuda pula, ketika kesempatan dan momen itu telah tiba, mendesak dan memaksa Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pasukan sekutu yang diboncengi oleh tentara Belanda, berusaha menjajah kembali Indonesia. Dalam banyak pertempuran, sebagaimana juga dikisahkan banyak saksi sejarah, para pemuda telah ambil-bagian sebagai martir-martir yang gugur di masa-masa awal mempertahankan Republik baru ini.

Ketika Sjahrir menempuh jalan berunding dengan pihak Belanda, para pemuda radikal dan revolusioner menyatakan “pembangkangan”. Tidak heran, ketika kabinet Sjahrir jatuh pada bulan Juni 1947, para pemuda bersorak gembira dan menganggap hari itu sebagai hari yang sudah lama ditunggu-tunggu.

Cornel Simanjuntak, seorang pemuda revolusiner yang pandai menciptakan lagu-lagu perjuangan, ikut mengangkat senjata dan bertempur melawan tentara sekutu dan Belanda. Sampai akhirnya, dalam sebuah pertempuran di daerah Senen – Tangsi Penggorengan Jakarta, pahanya tertembak.

Cerita mengenai Cornel hanyalah satu dari jutaan pemuda Indonesia yang punya semangat berkobar-kobar untuk memenangkan revolusi Agustus 1945 kala itu. (Kusno)



*tulisan diatas merupakan buah fikir bung rudy hartono.